BIAS KOMUNIKASI POLITIK DI RUANG PUBLIK DALAM PEMILU DAN PILKADA DI JAWA TIMUR
Abstract
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan terhadap fungsi dan makna komunikasi politik di ruang-ruang publik antara di Eropa dan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Inggris dan Prancis misalnya, ruang publik seperti warung-warung kopi dan salon berfungsi bagi masyarakat untuk mendiskusikan buku-buku terbitan baru, model karya seni dan musik, selain berfungsi secara sosial dan politik. Melalui ruang publik, memungkinkan bagi masyarakat Inggris dan Prancis membangun dialog untuk mencapai sebuah konsensus dalam berdemokrasi. Sementara di Indonesia, ruang publik seperti warung-warung kopi, pasar dan perkebunan di sebagian wilayah Jawa Timur menjadi arena permainan politik uang (Money politics) bagi sebagian masyarakat untuk melakukan komunikasi politik transaksional dalam memenangkan calon tertentu pada Pemilu dan Pilkada untuk memilih calon presiden, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta calon gubernur, bupati dan walikota. Fakta demikian membuktikan bahwa fungsi komunikasi politik di ruang publik mengalami pembiasaan sehingga bersifat transaksional yang justru cenderung merusak kemurnian dari demokrasi itu sendiri.
Fenomena ini terungkap dari penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan secara terlibat (Partisipatory Observer) pada saat Pemilu dan Pilkada di sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akiabt terjadi pembiasan fungsi dan makna komunikasi politik di ruang-ruang publik pada saat kampanye Pemilu dan Pilkada di Jawa Timur, maka sebagian dari masyarakat pemilih di Jawa Timur memaknai Pemilu dan Pilkada sebagai ajang transaksi untuk melakukan pertukaran suara dengan imbalan sejumlah uang atau barang. Contoh, sebagian masyarakat pemilih di Trenggalek memaknai Pemilu dan Pilkada sebagai bagi-bagi uang kepada para petani perkebunan. Di Probolinggo, sebagian pemilih memaknai Pemilu sebagai bagi-bagi uang dan jilbab kepada pedagang pasar. Di Tuban, Pemilu dimaknai sebagai bagi-bagi sarung. Sedangkan di Gresik, Pemilu dimaknai sebagai bagi-bagi amplop. Di Banyuwangi, sebagian pemilih memaknai Pemilu sebagai bagi-bagi uang kepada para guru ngaji. Sementara sebagian pemilih di Sidoarjo memaknai Pemilu sebagai bagi-bagi beras miskin (Raskin). Di Kota Batu lain lagi, karena sebagian pemilih memaknai Pemilu sebagai bagi-bagi sembako seperti beras, gula, telur dan minyak.
References
Bawaslu Provinsi Jawa Timur. 2015. Laporan Pilkada Serentak di Jawa Timur Tahun 2015.
Bolton, Roger. 2005. Habermas’s Theory of Communicative Action and the Theory of Social Capital, Departement of Economics and Center for Environmental Studies William College, Massachusets.
Couldry, Nick & Dreher, T. 2007. Globalization and The Public Sphere : Exploring the Space of Community Media in Sydney, Global Media and Communication, Sage Publication.
Habermas, Jurgen 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society.
Linawati, Sri Lestari. 2016. Metode Penelitian Kualitatif: Pengamatan Terlibat. (https://srilestarilinawati.wordpress.com/2016/03/26/metode-penelitian-kualitatif-pengamatan-terlibat.)
Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan Paradigma Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Cetakan V, Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nimmo, Dan. 1993. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Saleh, Rahmad. 2004. Potensi Media sebagai Ruang Publik. Jurnal Thesis. Volume III/No 2. Mei – Agustus 2004.
Authors send the manuscript with the understanding that if accepted for publication, the copyright of the article belongs to the authors and retains publishing rights without restriction